Mungkin anda suka menonton film dengan kualitas tinggi ?, dan anda sudah bosan dengan pemutar video yang lain, mungkin anda bisa mencoba Software yang satu ini. Splayer adalah salah satu Software untuk memutar Video/Film dalam kualitas Tinggi, Kalau bergitu silahkan Download
Selasa, 19 Juni 2012
Senin, 18 Juni 2012
Sahabat Aneh
Pulang
kampung setelah lima tahun di rantau menuntut ilmu, memberi warna tersendiri
dalam hati. Dengan mengantongi ijazah sarjana,
Khairul
Huda, Pulang kampung setelah lima tahun di rantau menuntut ilmu, memberi warna
tersendiri dalam hati. Dengan mengantongi ijazah sarjana, aku melangkah tegap
menuju bus yang akan membawaku ke Doro, sebuah kota kecamatan kecil 20 km di
sebelah selatan Pekalongan.
Bus Binatur
yang kutumpangi berjalan lambat keluar terminal. Tidak hanya sekali dua bus
berhenti untuk menaik-turunkan penumpang. Bahkan beberapa kali bus malah
berjalan mundur, masuk ke jalan desa, menjemput penumpang yang hampir terlewat.
Sampai di
perempatan Karangdadap langit gelap. Sesaat kemudian turun hujan. Kuedarkan
pandang ke luar jendela. Lewat kaca bus yang buram, kulihat butiran mutiara itu
berlomba turun menjejak ke bumi. Banyak rumah baru berdiri di sepanjang pundak
jalan yang tidak seberapa luas.
Sejam
kemudian, tepat pukul 12.00 siang, bus sampai di depan Pasar Doro. Di kota
kecil ini tak ada terminal bus, yang ada hanyalah terminal colt angkutan
pedesaan. Itu pun tak seluruh colt masuk ke terminal. Banyak di antaranya yang
nge-tem di depan pasar sebelah barat, berbaur jadi satu dengan bus yang akan
datang.
"Masih
seperti dulu," gumamku membatin, ketika melihat sebuah colt jurusan
Karanganyar berangkat. Ya, masih seperti dulu. Colt berangkat dengan penumpang
yang berjejal sesak. Dari belakang yang terlihat jajaran orang bergelantungan
rapat membentuk teralis menutupi bagian belakang mobil. Dan kalau belum
mendapat penumpang yang rapat seperti itu, colt memang belum mau berangkat.
Padahal itu sungguh membahayakan keselamatan penumpang.
Aku menarik
napas untuk melonggarkan dadaku yang sesak. Dengan jilbabku yang bersih ini,
aku pun akan berimpit seperti mereka. Berdesak dengan orang, barang belanjaan,
dan ayam. Sudah tercium olehku keringat bercampur kubis busuk, tai ayam, dan
aroma parfum yang tajam menusuk. Seperti itulah kalau perjalanan kita lekas
sampai, karena jumlah angkutan di sini sangat terbatas.
Colt
jurusan Lemahabang yang kutumpangi hampir penuh. Beruntung aku mendapat tempat
duduk di depan, di ruang kemudi. Meski sesak juga, tapi tak separah seperti
duduk di belakang. Lumayanlah. Tapi harap diingat, mendapat tempat duduk di
ruang sopir, harus berani membayar lebih, karena lebih nyaman, maka ruang sopir
ini banyak diperebutkan.
Calo sudah
memintai ongkos para penumpang. Berarti colt sudah penuh dan siap berangkat.
Aku bernapas lega.
Pak sopir
masuk ruang kemudi, lalu menghidupkan mesin. Saat itu melintas sebuah bayangan
yang sudah sangat kukenal, di depan colt. Aku masih mengingatnya dengan baik,
itu adalah bayangan Silva, taman sekampung, teman masa kecil, teman
sepermainanku dulu. Kalau ia mau pulang, kenapa tidak naik colt ini? Dorongan
rasa kangen pada sahabat telah mengalahkan kepentinganku untuk cepat-cepat
sampai di rumah.
"Sebentar,
Pak Sopir," pintaku pada sopir yang sudah memasukan perseneling ke gigi
satu. Lalu begitu saja aku turun dari mobil, mengejar Silva.
Terdengar
teriakan sopir di belakang, "Cepat, Dik!"
Sekilas
aku menoleh seraya melambaikan tangan menyuruhnya pergi. Sopir maklum, colt itu
pun berangkat.
Aku
berhasil mengejar Silva. Kujajari langkahnya.
"Mau
kemana?" tanyaku.
Silva
menoleh, tersenyum. Wajah dan bibirnya tampak pucat, tapi kakinya melangkah ke
arah timur.
"Mestinya
kamu bersama saya naik colt yang tadi. Kamu sudah tahu kan, selepas colt tadi
belum tentu ada colt berikutnya yang bisa membawa kita pulang? Sudah siang
begini tak ada lagi orang berpergian. Anak sekolah dan ibu-ibu yang belanja
sudah pada pulang. Kita pertaruhkan pada nasib baik untuk bisa pulang hari
ini."
Silva tak
berkomentar. Kucoba menggandeng tangannya. Dingin. "Kamu sakit? Mau
periksa? Okelah, aku menemanimu."
Melewati
sebuah jembatan kecil, Silva belok ke kiri.
"Lho,
kalau mau periksa ke tempat dr. Lestari, beloknya ke kanan, dong?!"
protesku. Silva tak menanggapi protesku. Ia terus saja melangkah.
"Baiklah,
kuikuti kamu," kataku, menyerah. "Seandainya nanti tidak mendapat
colt pulang, toh ada kamu. Kita bisa pulang jalan kaki bersama.
Kami lewat
di depan KUA. Ke utara sedikit, ada masjid di sisi barat jalan, menghadap ke
timur. Silva membelokkan langkahnya ke sana.
"Oh,
kamu mengajakku salat dulu? Baiklah. Sekarang memang sudah hampir jam
satu," kataku, setelah melirik arloji di pergelangan tanganku.
Aku
mendahului Silva melepas sepatu, terus ke kamar kecil. Setelah itu mengambil
wudhu dan salat Zuhur lebih dahulu, karena Silva tak tampak bayangannya.
Kupikir ia sedang berada di kamar kecil.
Kemana
sih, dia? Diikuti kok malah menghilang? gerutuku sendirian, sambil mengenakan
sepatu bersiap meninggalkan masjid.
Aku
kembali ke depan pasar mencari angkutan. Suatu kebetulan, ada serombongan orang
yang hendak berziarah ke makam Syeh Siti Jenar di Lemahabang. Mereka
mendapatkan colt dan aku mengikuti saja. Tampaknya rombongan itu membayar
lebih, sehingga tak usah menunggu penumpang berdesak. Alhamdulillah.
Mobil yang
kami tumpangi bergerak ke arah barat setengah kilo, lalu berbelok ke selatan.
Dan mulailah perjalanan yang penuh risiko. Karena colt mesti melewati jalan
berbatu tidak rata, dengan medan yang terus menanjak. Badan colt bergerak
seperti layaknya tubuh mentok. Merangkak tertatih, megal-megol, oleng ke kiri
dan ke kanan, kepalanya mengangguk-angguk.
Setelah
lepas empat puluh lima menit, colt yang sudah bergerak pelan, terasa semakin
memperlambat lajunya. Kami saling bertatapan. Ada apa? Serentak kami arahkan
pandangan ke depan. Ada sekerumunan orang memenuhi jalan di depan. Colt
berhenti. Kami turun untuk mencari tahu.
Ternyata
ada colt jatuh ke jurang! Sebagian penumpangnya tewas, sebagian yang lain
luka-luka. Mereka sedang dievakuasi. Dan itu adalah colt yang hendak kutumpangi
tadi, tapi tidak jadi!
Aku
tertunduk lemas. Tak henti-hentinya kusebut kebesaran nama-Nya. Pandanganku
yang kabur oleh airmata, menangkap tubuh-tubuh yang berlumpur dan berlumur
darah terkulai. Pecahan kaca yang berserakan. Mobil yang ringsek. Wajah-wajah
yang basah oleh airmata. Telingaku menangkap raungan tangis tak beraturan dari
mereka yang masih bisa menagis. Allah Mahabesar.
"Dik,
naik lagi. Kita teruskan perjalanan," kata sebuah suara.
Kuusap
mataku dengan punggung tangan. Tanpa suara kuikuti laki-laki yang berkata tadi.
Lalu kami masuk kembali ke colt untuk meneruskan perjalanan.
Begitu
sampai di rumah, setengah berlari aku menuju ke rumah Silva. Dia sendiri yang
membukakan pintu. Serentak melihat bayangannya, langsung kutubruk dan kupeluk
ia. Tangisku pun tumpah di pundaknya.
Silva
balas memeluk.
"Tenanglah...,"
bisiknya lembut dekat telingaku. Dipapahnya tubuhku menuju ke kamarnya. Setelah
meminum air putih pemberian Silva, aku sedikit lebih tenang. Lalu kuceritakan
semua kepadanya. Tentang pertemuanku dengannya di depan pasar. Tentang salatku
di masjid. Juga tentang colt yang tak jadi kutumpangi dan ternyata mendapat
kecelakaan...
"Kuminta
jawablah pertanyaanku dengan jujur. Di mana saja kamu seharian ini?"
"Seharian
ini aku hanya di rumah, tidak pergi ke mana-mana. Sungguh! Kalau tak percaya,
tanya Ibu,"kata Silva, serius. "Sejak pagi sampai menjelang Zuhur,
aku di sawah bersama Ibu, matun padi. Pulang dari sawah aku mampir ke pancuran,
bersih-bersih sekalian ambil air wudhu. Setelah salat dan makan, istirahat
sambil membaca-baca. Lalu kamu datang," jalas Silva runut.
"Aku
percaya. Lantas, siapa gadis mirip kamu yang kutemukan di depan pasar?"
Kami
saling berdiam diri, digayuti oleh pikiran masing-masing.
Dan aku
percaya, Allah memang sengaja menyelamatkanku dengan cara-Nya sendiri. Terima
kasih, ya Allah, atas pertolongan-Mu. Tak henti-hentinya kusebut nama-Nya.
Langganan:
Postingan (Atom)